MEMANFAATKAN PRODUK ORANG KAFIR
Disusun oleh : Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa, Lc
Belakangan ini, didengung-didengungkan, seolah-olah umat Islam telah berbuat salah ketika mereka mengambil dan memanfaatkan teknologi dan produk-produk dari orang-orang kafir. Karena kaum Muslimin dituntut mengakui kekufuran orang-orang kafir tersebut kepada Allâh D , bersikap baraa`ah terhadap mereka dan melarang bertasyabbuh kepada mereka. Hal ini dikesankan sebagai sikap kontradiktif yang dilakukan umat, yang sepatutnya tidak dilakukan.
Opini ini jelas salah. Apa yang mesti diyakini umat Islam terhadap orang-orang kafir dan sikap yang mesti diambil oleh kaum Muslimin terhadap mereka, seperti yang disebutkan di atas, bukan maknanya larangan memanfaatkan apa yang mereka produksi dan ciptakan, selama tidak mengandung mukhalafah (larangan) syar’i, dan justru mendatangkan kemaslahatan syar’i.
Larangan bagi kaum Muslimin terkait dengan orang-orang kafir ialah mengikuti apa yang ada pada mereka, di mana Allâh D telah memberikan kecukupan bagi umat, dengan syariat yang telah diturunkan yang tidak ada kekurangannya sama sekali. Allâh D berfi rman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
إِنَّهُمْ لَن يُغْنُوا عَنكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengakui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu dari (siksaan) Allâh. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allâh adalah pelindung orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Jâtsiyah/45:18-19)
Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqîthi t memaparkan masalah di atas dengan panjang-lebar berikut ini, “Kami telah jelaskan kepada saudara-saudara berulang-ulang bahwa agama Islam memerintahkan untuk menjaga dan mempertahankan ajaran-ajaran samawi dan adabadab ruhani, dan (sekaligus) juga memerintahkan untuk meraih kemajuan duniawi pada seluruh aspek kehidupan. Walaupun kemajuan duniawi tersebut dihasilkan oleh akal-akal orang-orang kafir yang jahat. Demikianlah yang dahulu dilakukan oleh pemimpin umat manusia, pendidik seluruh manusia, dan sosok yang menjelaskan jalan yang lurus bagi mereka, Nabi kita Muhammad.
Kita semua telah mengetahui bersama melalui sejarah Islam, bahwa pasukan koalisi orang-orang kafir mengurung Nabi ﷺ (dan kaum Muslimin) pada Perang Khandaq. Pengurungan militer waktu itu sangat besar dan kuat. Tentang kejadian tersebut, Allâh D berfirman:
إِذْ جَاؤُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتْ الأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا
هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالا شَدِيدًا
(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan, dan kamu menyangka terhadap Allâh bermacam-macam purba sangka. Di situlah diuji orang-orang Mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat. (QS. Al-Ahzâb/33:10-11)
Tatkala pasukan koalisi kafirin terbentuk untuk menghantam kaum Muslimin secara bersama-sama, Salman al-Farisi berkata kepada Nabi , “Kami (di Persia) bila kuatir (terhadap kekuatan musuh yang akan menyerang), kami menggali parit”. Membuat parit merupakan strategi militer dalam peperangan yang ditemukan oleh akal-akal orang-orang Persia yang beragama Majusi. Mereka menyembah api. Akan tetapi, waktu itu, Nabi ﷺ tidak berkomentar, “Itu strategi perang yang najis lagi kotor, karena akal-akal yang menggagasnya adalah akal-akal orang-orang kafir”. Tidak, Beliau tidak mengatakan itu. Bahkan Beliau ﷺ setuju untuk melaksanakan strategi yang asal-muasalnya dari orang-orang kafir. Beliau mempergunakannya dalam urusan dunia Beliau ﷺ , dalam keadaan Beliau ﷺ membuat ridha Rabbnya (Allâh D ) dalam konteks hubungan Beliau dengan Allâh, tetap memegangi adab-adab samawi dan kesucian jiwa.
Begitu pula, ketika kekuatan-kekuatan jahat bersatu-padu mendesak Beliau ﷺ dan akhirnya terpaksa keluar meninggalkan kampung halaman Beliau untuk berhijrah ke Madinah, semoga Allâh senantiasa melindungi kota Madinah, semua orang waktu itu memusuhi Beliau ﷺ . Maka, Beliau pun bersama pendampingnya, Abu Bakar ash-Shiddîq z terpaksa masuk ke dalam goa karena kuatir terhadap kejaran kaum musyrikin. Sebagaimana Allâh D telah menerangkannya pada Surat Bara`ah (“ketika keduanya berada di dalam goa, di waktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka-cita, sesungguhnya Allâh beserta kita’) (QS. At-Taubah/:40).
Waktu itu, Beliau ﷺ menyewa seorang lelaki kafir, bernama ‘Abdullâh bin Uraiqith ad-Daili, namun ia memiliki suatu penguasaan dalam urusan duniawi. Ia seorang yang sangat paham jalur-jalur perjalanan menuju Madinah. Sementara, jalur perjalanan yang biasa dilalui orang antara Makkah dan Madinah telah diawasi oleh orangorang musyrikin. Bila Nabi ﷺ dan Abu Bakar ash-Shiddiq berjalan melewati jalur perjalanan yang biasa tersebut, niscaya akan tertangkap.
Adapun sosok ‘Abdullâh bin Uraiqith ad-Daili, ia tahu jalan-jalan lain yang asing dari Makkah menuju Madinah. Ia memandu Nabi ﷺ untuk melintasi daerah dekat pantai terlebih dahulu. Lalu membawa Beliau menapaki jalan-jalan yang tak dikenal banyak orang, hingga dapat mengantarkan Beliau ﷺ ke kota Madinah dengan selamat.
Kekufuran yang menjadi keyakinan ‘Abdullâh bin Uraiqith ad-Daili tidak menjadi penghalang bagi Nabi ﷺ untuk memanfaatkan kepandaiannya dalam urusan dunia bagi Beliau, sejalan dengan pernyataan, “Petiklah buah dan buanglah kayu ke dalam api”.
Hal itu tidak mencegah Beliau ﷺ memanfaatkan jasanya, meski ia orang kafir, dan Beliau ﷺ orang yang selalu membuat Rabbnya, Allâh, ridha kepada Beliau ﷺ , menjaga adab-adab samawi dan perhatian terhadap pembinaan ruhani, berdasarkan pengajaran yang bersumber dari langit.
Disebutkan dalam Shahîh Muslim bahwa sesungguhnya Nabi ﷺ sempat terbetik untuk melarang menggauli wanita-wanita jika wanita-wanita itu tengah menyusui anak-anak mereka. Sebab, dahulu bangsa Arab beranggapan seorang wanita jika digauli suaminya, sementara wanita itu sedang dalam menyusui anak, maka hubungan badan tersebut akan melemahkan tulang sang anak dan membahayakannya. Itu sebuah kultur yang sangat populer di tengah bangsa Arab. Mereka juga berpandangan, bila seorang lelaki mengayunkan pedangnya, lalu pedang itu tidak mengenai obyek yang diinginkan, tidak berhasil memenggalnya, orang-orang akan berkata, “Lelaki itu telah menggauli istrinya, padahal sedang dalam masa menyusui anaknya”.
Maksudnya, kami ingin mengingatkan bahwa agama Islam agama kemajuan dalam kehidupan dunia, agama kekuatan, bukan agama yang beku, bukan pula agama untuk kehidupan di bumi saja. Namun, Islam adalah agama, perjuangan, kekuatan dan jihad, serta agama kemajuan dalam kehidupan dunia, pemandu bagi dunia dan penerang baginya dengan cahaya menuju apa yang akan bermanfaat bagi dunia dan agama.
Allâh D telah mengatur dalam Al-Qur`ân hubungan-hubungan manusia di dunia dan akhirat. Allâh D telah menerangkan kepada mereka apa yang akan membuat mereka hidup di dunia dengan bahagia, dan apa yang akan menjadikan mereka hidup berbahagia di akhirat kelak.
Maka, menjadi kewajiban seorang Muslim untuk tahu bahwa agama Islam itu agama perjuangan dan kemajuan di dunia, hanya saja ia wajib menjaga dengan baik ketaatan kepada Pencipta alam semesta ini. Sebab, alam semesta ini milik Allâh, Dialah yang menciptakannya, Dia, Raja Yang Maha Menentukan hukum lagi Maha Adil. Allâh D tidak membiarkan manusia hidup tanpa tujuan. Akan tetapi, Allâh D memerintahkan mereka dengan perintah-perintah dan melarang mereka dari larangan-larangan. Perintah-perintah-Nya harus ditaati, jalan-jalan yang telah diperintahkanNya mesti dilalui. Semua itu, tiada lain merupakan kebaikan dunia dan akhirat bagi bangsa manusia. Oleh sebab itu, Allâh berfirman tentang ini :
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَّ مُبَدِّلِ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. (QS. Al-An’am/6:115)
Artinya, benar dalam semua berita yang disampaikan, dan adil dalam semua hukum yang telah ditetapkan dan yang telah disyariatkan bagi umat manusia”. (Al-Adzbun Namîr min Majâlisi asy-Syinqîthi fi at-Tafsîr, 2/602).
Demikian paparan singkat mengenai masalah memanfaatkan produk-produk orang-orang kafir bagi kaum Muslimin. Semoga bermanfaat.
Diadaptasi dari Raf’u adz-Dzulli wash Shaghâri ‘anil Maftûnina bi Khuluqi al-Kuffar,
Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, hlm 40-45
Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/memanfaatkan-produk-orang-kafir/